ANDA PENGUNJUNG KE

Website counter

Selasa, 16 April 2013

CERDAS DALAM MENJAGA KESEHATAN REPRODUKSI

PROBLEMATIKA REMAJA AKIBAT KURANGNYA INFORMASI KESEHATAN REPRODUKSI

( OLEH : Winanti Siwi Respati )

SHARE : MUHAMMAD CAUKY

 


Masa remaja adalah masa peralihan atau transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa itu remaja sering diliputi oleh banyak ketidaktahuan tentang perkembangan dirinya yang dapat menimbulkan problematika tersendiri. Problematika yang banyak dihadapi oleh remaja tidak lain bersumber pada kurangnya informasi tentang perubahan dalam dirinya terutama yang terkait dengan kesehatan reproduksi. Secara khusus kesehatan reproduksi memang tidak dipelajari di sekolah sebagai bagian dari kurikulum. Sedangkan di rumah dan di lingkungan, juga tidak banyak informasi terbuka mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi secara benar. Dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo tahun 1994, telah dirumuskan hak-hak reproduksi yang berlaku bagi setiap manusia tanpa pandang bulu, dan sebagai konsekuensinya, remaja  juga mempunyai hak reproduksi sebagaimana yang lain. Belum terpenuhinya hak-hak reproduksi itu mengakibatkan timbulnya masalah dan bahkan petaka (kematian) bagi remaja. Untuk terwujudnya masa depan generasi penerus, maka pemenuhan hak-hak reproduksi remaja tidak dapat ditunda-tunda lagi. Apalagi hasil konferensi ICPD dan MDG’s, mengharapkan di akhir tahun 2015 nanti, minimal 90 persen dari seluruh jumlah remaja sudah harus mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual serta hak-hak yang menyertainya. Kalau memang negara komitmen dengan Goals itu, maka mau tidak mau negara juga harus memfasilitasi dan bekerjasama dengan berbagai pihak demi tercapainya tujuan itu. Agar Goals itu dapat tercapai maka harus diupayakan beberapa tindakan. Pertama, melakukan peningkatan pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi yang ditunjang dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), dan dilakukan secara proaktif melalui pendidikan formal maupun non formal. Kedua, dalam lingkup kebijakan, pemerintah, para akademisi, organisasi non pemerintah dan masyarakat, harus sepakat untuk tidak mengabaikan hak-hak remaja sehingga masalah ketidaktahuan akan kesehatan reproduksi, aborsi, KTD, anemia, AKI, dan lain sebagainya dapat dikurangi. Ketiga, penelitian tentang kesehatan reproduksi remaja  harus lebih banyak dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan remaja dan mengimplementasi undang-undang kesehatan reproduksi yang seharusnya menjadi hak remaja. Keempat, dalam lingkup yang lebih praktis, harus mengadakan pelatihan dan kaderisasi berkaitan dengan pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi remaja, dan mulai memasukkan agenda kesehatan reproduksi remaja dan melaksanakannya di setiap bidang pelayanan kesehatan di Indonesia. (Key Word: Remaja, Kesehatan Reproduksi, Informasi, Hak Asasi)

A.    Pendahuluan
Suatu hari, seorang remaja  kurang lebih berusia 11 tahun dibawa (digotong) oleh orangtuanya ke klinik kesehatan. Remaja itu berdarah-darah, yang mengalir ke kaki, dan berbekas di beberapa area bajunya. Wajah kedua orang tuanya panik dan menginginkan pertolongan segera dari dokter. Menurut saya, anaknya sendiri tidak nampak kesakitan, tetapi lebih pada ekspresi ketakutan. Berhubung perawat terbatas dan sedang melayani pasien lainnya, maka segera dibawa masuk ke ruang tindakan dan ditangani oleh dokter. Di luar ruangan, saya bertanya pada orangtuanya apa yang terjadi, tapi mereka mengatakan tidak tahu apa yang terjadi. Menurutnya, mereka panik ketika melihat anaknya nyaris pingsan dengan kondisi berdarah-darah. Mereka semakin panik karena anaknya tidak menjawab sewaktu ditanya apa yang terjadi. Keputusan pertama yang dipikirkan adalah membawa segera anaknya ke layanan kesehatan terdekat. Apa yang terjadi? Ternyata remaja itu mendapatkan menstruasi pertama kalinya. Solusi segera secara sederhana yang diberikan oleh dokter adalah memberinya pembalut, resep vitamin dan konsultasi tentang kesehatan reproduksi terhadap remaja dan orang tuanya.
Kasus lainnya, seorang remaja putri berjilbab, berusia kurang lebih 18 tahun, datang ke sarana kesehatan diantar temannya dengan keluhan sudah 4 bulan tidak menstruasi. Remaja itu kelihatan pucat dan ingin mengetahui mengapa dirinya tidak menstruasi lagi, padahal sebelumnya selalu lancar. Setelah diperiksa dokter, akhirnya remaja itu diminta untuk cek urine (tes kehamilan). Hasilnya adalah positif hamil. Remaja itu tidak menyangka bahwa dirinya hamil karena tidak mengetahui tanda-tandanya. Temannya pun demikian, sama-sama tidak mengetahui. Remaja yang hamil itu nampak terkejut dan kebingungan. Ketakutan melanda dirinya akan kemarahan orang tuanya, dan malu menghadapi teman-temannya. Tentang kehamilannya, dia mengatakan tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Dia memikirkan hal-hal terburuk akan terjadi pada dirinya, dan berharap pacarnya mau bertanggung jawab. Dia juga menanyakan kepada dokter kemungkinan untuk pengguguran kandungan. Berhubung orang tuanya tinggal di kota yang berbeda, dia berencana tidak akan memberitahu orangtuanya terlebih dahulu, sebelum pacarnya mau bertanggung jawab.
Permasalahan yang dihadapi oleh remaja di atas adalah seputar perubahan di dalam dirinya yang terkait dengan kesehatan reproduksi. Secara khusus kesehatan reproduksi memang tidak dipelajari di sekolah sebagai bagian dari kurikulum. Sedangkan di rumah dan di lingkungan, mungkin juga tidak banyak informasi terbuka mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi secara benar. Sampai saat ini pun masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja putri masih cukup banyak. Selain dua kasus di awal, masih ada aborsi tidak aman (unsafety abortion), kematian karena melahirkan pada usia muda, ketidakwaspadaan terhadap penyakit menular seksual, kasus HIV/AIDS yang terus meningkat, serta diskriminasi gender yang seringkali meminggirkan  dalam banyak hal, baik dalam pendidikan (wawasan), pelayanan kesehatan, dan lainnya.
Menarik untuk dijelaskan bagaimana permasalahan itu dapat terjadi pada remaja, seberapa penting informasi kesehatan reproduksi bagi remaja dan bagaimana akses para remaja terhadap informasi itu?
B.     Pembahasan
Menurut Santrock (2003), remaja (adolescence) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 sampai 22 tahun. Perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional yang terjadi berkisar dari perkembangan fungsi seksual, proses berfikir abstrak sampai pada kemandirian.
Dalam dunia hukum, konsep “remaja” tidak dikenal dalam sebagian undang-undang yang berlaku. Hukum di Indonesia hanya mengenal anak-anak dan dewasa walaupun batasan yang diberikan untuk itu pun bermacam-macam. Misalnya, hukum perdata memberikan batas 21 tahun atau kurang dari itu asalkan sudah menikah untuk menyatakan seseorang telah dewasa. Hukum pidana memberi batasan 18 tahun atau kurang dari itu asalkan sudah menikah sebagai batasan usia dewasa. UU no 23/2002 tentang perlindungan anak membatasi usia anak adalah sebelum 18 tahun. Sedangkan UU no1/1974 tentang perkawinan membolehkan usia 16 tahun untuk menikah dan dianggap sudah dewasa.
Terlepas dari batasan usia kronologis, masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dalam segala aspek, baik biologis, psikologis maupun sosial. Masa transisi ini adalah hal yang sulit bagi remaja, dimana proses perubahan di dalam tubuh sedang berlangsung. Ada proses perubahan biologis antara lain perubahan hormon, khususnya hormon reproduksi. Juga ada perubahan psikologis yang dipengaruhi oleh pergaulan di lingkungan. Perubahan-perubahan ini membuat kehidupan remaja menjadi sulit dan rawan. Seiring perkembangan biologis, mereka harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan.
Remaja yang sedang berada pada masa sulit, tidak pasti dan cenderung labil, mudah sekali terpengaruh informasi global melalui media audio-visual yang semakin mudah diakses, namun minim informasi kesehatan reproduksi. Dengan informasi akan kesehatan reproduksi yang terbatas dan perkembangan emosi yang masih labil, remaja dihadapkan pada kebiasaan yang tidak sehat seperti seks bebas, merokok, minum-minuman beralkohol, penyalahgunaan obat dan suntikan terlarang. Adaptasi kebiasaan itu, seiring dengan alat-alat reproduksi remaja yang mulai berfungsi, pada akhirnya hanya akan mempercepat usia awal seksual aktif serta mengantarkan mereka pada kebiasaan berperilaku seksual yang beresiko tinggi.
Jenis resiko kesehatan reproduksi yang dihadapi remaja mempunyai ciri yang berbeda dengan anak-anak maupun orang dewasa. Jenis resiko kesehatan reproduksi yang harus dihadapi remaja antara lain kehamilan dini maupun kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, penyakit menular seksual (PMS), kekerasan seksual, serta masalah keterbatasan akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan. Resiko ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berhubungan, yaitu tuntutan untuk menikah muda dan hubungan seksual, akses yang rendah terhadap pendidikan dan pekerjaan, ketidaksetaraan gender, kekerasan seksual dan pengaruh media massa maupun gaya hidup remaja.
Remaja  juga kekurangan informasi dasar mengenai keterampilan menegosiasikan hubungan seksual dengan pasangannya. Mereka juga memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk mendapatkan pendidikan formal dan pekerjaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi pengambilan keputusan dan pemberdayaan mereka untuk menunda perkawinan dan kehamilan serta mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki. Bahkan pada remaja  di pedesaan, menstruasi pertama biasanya akan segera diikuti dengan perkawinan yang menempatkan mereka pada resiko kehamilan dan persalinan dini.
Ketidakharmonisan hubungan orang tua juga dapat menjadi pencetus perilaku atau kebiasaan tidak sehat pada remaja . Hal ini berawal dari sikap orang tua yang menabukan pertanyaan remaja tentang fungsi dan proses reproduksi, serta penyebab rangsangan seksualitas. Orang tua cenderung risih dan tidak mampu memberikan informasi yang memadai mengenai alat reproduksi dan proses reproduksi itu. Tiadanya informasi dari orang tua membuat remaja mengalami kebingungan akan fungsi dan proses reproduksinya. Ketakutan kalangan orang tua dan guru, bahwa pendidikan yang menyentuh isu perkembangan organ reproduksi dan fungsinya akan mendorong remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah, justru mengakibatkan remaja diliputi oleh ketidaktahuan atau mencari informasi yang belum tentu benar, yang pada akhirnya justru dapat menjerumuskan remaja kepada ketidaksehatan reproduksi.
WHO mendefinisikan kesehatan reproduksi sebagai keadaan sejahtera secara fisik, mental dan sosial yang bukan karena ketiadaan penyakit dan kecacatan, yang berkaitan dengan sistem, fungsi dan proses-prosesnya (Saparinah Sadli, dkk. 2006). Dari definisi itu nampak bahwa masalah kesehatan reproduksi adalah masalah yang menyeluruh, luas dan saling terkait.
Kesehatan reproduksi  harus dipahami dan dijabarkan sebagai siklus kehidupan (life cycle) mulai dari konsepsi sampai mengalami menopause dan menjadi tua. Hal ini berarti menyangkut kesehatan balita , anak , remaja , ibu usia subur, ibu hamil dan menyusui, dan ibu yang menopause. Setiap tahap dalam siklus kehidupan itu memiliki keunikan permasalahan masing-masing, namun juga saling terkait dengan tahap lainnya. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan reproduksi  dalam siklus itu, di antaranya kemiskinan, status sosial yang rendah, diskriminasi, kurangnya pelayanan dan pemeliharaan kesehatan, pendidikan yang rendah, dan kehamilan usia muda. Setiap faktor akan membawa dampak bagi kesehatan reproduksi , baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kesehatan reproduksi  juga sangat penting karena sangat kompleks. Alat reproduksinya sendiri berada di dalam, berbeda halnya dengan laki-laki yang lebih nampak di luar. Oleh karenanya, tanda-tanda yang keluar berkaitan dengan kesehatan reproduksi  sering disikapi tidak serius oleh medis, misalnya keputihan yang dianggap sebagai hal yang biasa, padahal bisa saja merupakan tanda-tanda ketidaksehatan yang serius. Di masyarakat juga banyak pantangan atau mitos, serta kebijakan-kebijakan pengaturan kependudukan yang dibebankan pada rahim , sehingga  tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri. Kompleksnya kesehatan reproduksi  menuntut pemahaman yang komprehensif dan menuntut dirumuskannya hak-hak kesehatan reproduksi .
Sesuai kesepakatan dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo tahun 1994, akhirnya dirumuskan hak-hak reproduksi yang berlaku bagi setiap manusia tanpa pandang bulu. Sebagai konsekuensinya, remaja  juga mempunyai hak reproduksi sebagaimana yang lain. Hak remaja atas kesehatan reproduksi mulai diakui secara internasional pada Konvensi Hak-hak Anak tahun 1989. Sebagai tindak lanjutnya, hak reproduksi remaja dibahas sangat mendalam pada International Youth Forum yang diadakan di Den Haag bulan Februari 1999 dan diikuti oleh 132 peserta remaja dari seluruh dunia. Forum ini secara khusus menekankan perlunya keikutsertaan remaja dalam seluruh kebijakan politis yang mempengaruhi kehidupan mereka, mulai dari segi desain, implementasi sampai evaluasi, serta mendesak diprioritaskannya alokasi dana dan sumber-sumber bagi kesehatan reproduksi remaja.
Dalam UU No.7 tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap  (CEDAW) tercantum hak-hak asasi . Negara wajib menjamin perkembangan dan kemajuan  untuk menikmati hak asasi manusia (pasal 3), wajib memberantas segala bentuk perdagangan  dan eksploitasi pelacuran (pasal 6), dan wajib mengurangi angka putus sekolah anak  dan penyelenggaraan program untuk anak-anak  sebelum waktunya meninggalkan sekolah (pasal 10). Dinyatakan juga bahwa  berhak memperoleh penerangan edukatif yang berkaitan dengan hak reproduksinya, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi.   juga berhak memperoleh penerangan, pendidikan dan sarana-sarana yang berkaitan dengan hak reproduksi  (pasal 16).
Melihat pasal-pasal di atas, sebagai remaja putri, mereka memiliki hak asasi yang harus diperjuangkan untuk terjamin terpenuhinya hak-hak atas kesehatan reproduksinya. Untuk itu remaja putri harus mengetahui dan memperjuangkan hak-hak yang berkaitan dengan kesehataan reproduksinya, yang antara lain adalah: 1) hak memperoleh akses pelayanan kesehatan, mengingat banyaknya pelayanan kesehatan reproduksi yang diprioritaskan bagi orang dewasa, sehingga remaja seringkali terabaikan; 2) hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa ada diskriminasi jender serta informasi atas kesehatan reproduksinya; 3) hak untuk bebas dari paksaan pernikahan usia muda karena berdampak buruk bagi perkembangan fisik, mental dan sosialnya; 4) hak atas akses informasi dan pelayanan kontrasepsi, pelayanan pra dan pasca melahirkan tanpa memandang status perkawinan; 5) hak untuk terhindar dari resiko aborsi yang tidak aman, dan mendapatkan akses pelayanan yang aman, dalam hal kehamilan yang tidak diinginkan yang membahayakan kehidupan remaja; 6) hak atas informasi yang berkaitan dengan infeksi menular seksual, sehubungan dengan faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka seperti adanya kekerasan dan eksploitasi seksual, kurangnya pendidikan termasuk pendidikan seksual dan kurangnya akses terhadap kontrasepsi dan layanan kesehatan reproduksi; 7) hak untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari ketakutan akan ancaman kekerasan seksual yang dilakukan baik oleh sesama remaja sendiri maupun oleh orang dewasa.
Remaja perlu memahami hak-hak reproduksinya agar menyadari bahwa pemegang kendali utama atas tubuhnya adalah dirinya sendiri, bukan orang lain. Seperti yang dikatakan oleh feminisme radikal bahwa otonomi itu penting. Apapun yang menyangkut  adalah politik (personal is political). Dengan menyadari hak-hak reproduksi, remaja  tidak akan mudah menjadi korban atas berbagai paksaan yang menyangkut tubuh dan mentalnya, sehingga dapat memperjuangkan dan membela diri dari orang lain yang akan melanggar haknya.
Dalam kebanyakan kasus remaja di Indonesia, mereka belum banyak yang menyadari akan hak reproduksi yang harus diperjuangkannya. Misalnya hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa ada diskriminasi jender serta informasi atas kesehatan reproduksinya. Jika harus memilih untuk menyekolahkan anak laki-laki atau , suatu keluarga yang ekonominya pas-pasan biasanya akan memilih anak laki-lakinya yang bersekolah. Anak  biasanya menerima saja disuruh berhenti sekolah dan segera menikah.
Feminisme liberal melihat diskriminasi terhadap kebebasan  menjadi dasar terjadinya penindasan . Dalam hal ini, ketidakbebasan remaja  mengeksplorasi diri, sulitnya memeroleh informasi dan kesempatan pendidikan, baik secara umum maupun yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, membuat remaja kekurangan wawasan dan akhirnya terabaikan hak-haknya, termasuk hak atas kesehatan reproduksinya.
Kebijakan negara yang cenderung mengabaikan kebutuhan kesehatan reproduksi remaja, merupakan jawaban atas ketidaktahuan dan kebingungan remaja. Remaja tidak mengetahui harus bertanya dan memperoleh informasi darimana, dari siapa, boleh-atau tidak dan sebagainya. Sebagai contoh, kondisi menstruasi yang membuat remaja hampir pingsan adalah karena kondisi kekurangan darah, dan hal ini dapat berhubungan dengan kekurangan gizi pada remaja itu. Mengapa remaja  kekurangan gizi? Jika dirunut maka akan sampai juga pada adanya sistem yang lebih mengutamakan laki-laki, bahkan dalam hal pemberian gizi. Mungkin juga karena ketidaktahuan  (kurangnya pendidikan) bahwa seharusnya memperoleh hak yang sama dengan laki-laki dalam segala hal termasuk perolehan gizi. Bahkan, seharusnya  mendapat gizi lebih karena kebutuhan yang berbeda dan kondisi  yang mengalami menstruasi sehingga kehilangan banyak darah bersih. Dengan gizi yang memadai maka memungkinkan terhindar dari anemia.
Kondisi kehamilan yang mungkin tidak dikehendaki, sangat berkaitan dengan rendahnya kualitas pendidikan dan rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi bagi . Mudanya usia dalam kehamilan tidak menutup kemungkinan akan menjadi petaka bagi remaja  itu. Selain tidak dapat melanjutkan pendidikan, yang berdampak pada rendahnya akses ekonomi yang akan menuju pada kemiskinan, juga harus menghadapi kehamilan yang membawa problem tersendiri. Problem kehamilan di luar nikah dapat sangat luas, membutuhkan kondisi fisik, mental dan sosial yang kuat untuk menghadapinya. Mulai dari penerimaan cemoohan dari lingkungan karena norma perkawinan yang dianut, kemarahan orang-orang yang tidak memahami kondisi remaja , sampai dengan pertaruhan kondisi fisik ketika harus melahirkan dan kemungkinan resiko besar terkena kanker seviks akibat melakukan hubungan seksual pada usia muda.

C.  Simpulan dan Saran
Problematika yang dihadapi oleh remaja tidak lain bersumber pada kurangnya informasi tentang kesehatan reproduksi. Dalam masa transisi dari anak menuju dewasa, remaja membutuhkan informasi berkaitan dengan perubahan-perubahan dalam dirinya, baik secara fisik, mental maupun sosial, yang tidak terlepas dari fungsi, proses dan sistem reproduksinya. Remaja putri yang tidak paham tentang kesehatan reproduksi, bagaimana pun terkait dengan sistem di lingkungan yang lebih meminggirkan  dalam banyak hal.
Sebenarnya remaja memiliki jaminan perlindungan atas kesehatan reproduksi dan hak atas reproduksinya. Ketidaktahuan, ketidakpahaman dan belum terpenuhinya hak-hak reproduksi itu mengakibatkan timbulnya masalah dan bahkan petaka (kematian) bagi remaja. Padahal ini dapat membawa dampak pada kualitas generasi selanjutnya karena  adalah penerus keturunan.  
Sebenarnya banyak hal dapat dilakukan untuk memenuhi hak-hak kesehatan reproduksi remaja. Tentu saja hal ini disesuaikan dengan kebutuhan masa remaja akan informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi yang memadai. Sebagai langkah awal pencegahan, dapat dilakukan peningkatan pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi yang ditunjang dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang tegas tentang segala hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja.  Bahkan mungkin tidak harus menunggu remaja memanfaatkan sarana layanan ini, tetapi dapat secara proaktif menghampiri para remaja, dan menyosialisasikan hak-hak atas kesehatan reproduksinya, melalui pendidikan formal maupun non formal.
Dalam lingkup kebijakan, pemerintah, para akademisi, organisasi non pemerintah dan masyarakat yang lebih dulu memahami dan menyadari hak-hak atas kesehatan reproduksi harus sepakat untuk tidak mengabaikan hak-hak remaja , sehingga masalah ketidaktahuan akan kesehatan reproduksi, aborsi, KTD, anemia, AKI, dan lain sebagainya dapat dikurangi. Penelitian-penelitian terhadap kesehatan reproduksi remaja  harus lebih banyak dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan remaja  dan mengimplementasi undang-undang kesehatan reproduksi yang seharusnya menjadi hak remaja.
Dalam lingkup yang lebih praktis, harus mengadakan pelatihan dan kaderisasi berkaitan dengan pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi remaja , dan mulai memasukkan agenda kesehatan reproduksi remaja  dan melaksanakannya di setiap bidang pelayanan kesehatan di Indonesia, tanpa ada diskriminasi lagi. Sarana pelayanan kesehatan harus mulai dilengkapi sesuai kebutuhan remaja  berkaitan dengan hak-hak kesehatan reproduksinya. Youth-Youth Center yang ada di Indonesia sebaiknya mulai memperluas diri untuk merangkul semua remaja tanpa kecuali, dengan informasi yang benar dan akurat. Untuk itu, tentu dibutuhkan kerjasama dan dukungan dari segenap pihak, mulai dari microsystem dimana remaja berinteraksi secara langsung yakni keluarga, mesosystem yang biasanya melibatkan lingkungan yang lebih luas seperti di sekolah dan organisasi atau klub-klub, macrosystem yang melibatkan media informasi dan pengaruh kultur yang lebih luas, bahkan mendunia.
Dengan kerjasama dan niat yang baik untuk kebaikan remaja  kita, dan untuk terwujudnya masa depan generasi penerus, maka pemenuhan hak-hak reproduksi remaja  tidak dapat ditunda-tunda lagi. Apalagi hasil konferensi ICPD dan MDG’s, mengharapkan di akhir tahun 2015 nanti, minimal 90% dari seluruh jumlah remaja sudah mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual serta hak-hak yang menyertainya. Kalau memang negara komitmen dengan Goals ini, maka mau tidak mau negara juga harus memfasilitasi dan bekerjasama dengan berbagai pihak demi tercapainya tujuan itu.

Daftar Pustaka
Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender UI. Hak Asasi , Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender. Jakarta: Yayasan Obor. 2007.
Sadli, Saparinah; A.Rahman; A.Habsjah. Implementasi Pasal 12 Undang-undang Nomor 7 tahun 1984, Pelayanan Kehamilan, Persalinan dan Pasca Persalinan. Yogyakarta: Kelompok Kerja Convention Watch Universitas Indonesia. Surviva Paski. 2006
Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi Remaja. Ed. Revisi 9. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2005.
Santrock, John W. Adolescence, Perkembangan Remaja. Ed.ke-6. Terj. oleh Shinto B. Adelar & Sherly Saragih. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2003.
Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought. Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Terj. oleh Aquarini Priatna Prabasmoro. Yogyakarta: Jalasutra. 2005.
Wahyuni, Budi., F.Sustiwi. “Remaja dan  Lajang: Hak yang Terbuang”. Jurnal  No.53. hal 91-100. Jakarta: Yayasan Jurnal . 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CAUKY MOHON SARAN DAN KOMENTAR NYA GUYSS,,,,!!!!